"It is not happy people who are thankful,
it is thankful people who are happy".
Rumah berdinding kayu dan berlantai tanah itu memang sederhana, tapi kaya akan makna.
Di sini lah.. yang tadinya hanya bertegur sapa menjadi sebuah keluarga.
Dan di sini lah.. yang tadinya hanya bertukar pikiran menjadi sebuah penyadaran.
Menghabiskan siang dan malam bersama di rumah Pak Dul dan keluarga yang terletak di kaki gunung Prau, Desa Patak Banteng, Wonosobo. Kebetulan, ini bukan kali pertama saya tinggal di desa bersama penduduk lokal. Tapi, entah.. kali ini saya merasakan hal yang berbeda..
Seperti merasa tertampar.
Disadarkan akan sesuatu hal yang mungkin selama ini mulai terlupakan.
- - -
Satu sore menjelang maghrib, saya dan rekan saya bersama Mas Burhan (putra sulung dari keluarga Dul) sedang bermain ke Batu Pandang untuk menikmati pemandangan Telaga Warna. Kebetulan Mas Burhan sedang berpuasa dan kami pun mengajak Mas Burhan untuk berbuka puasa di daerah alun-alun Dieng. Seketika Mas Burhan merangkul kami lalu mengajak pulang.
"Hee.. Ibu sama Bapak udah nunggu anak-anaknya di rumah. Pasti Ibu udah masak buat kita. Kita makan di rumah aja ya. Tapi, seadanya loh".
Saya pun tak enak hati dan langsung mengangguk. Kala itu memang kami belum mengetahui kebiasaan keluarga kami di Dieng.
Setiba kami di rumah, kami disambut dengan wangi kaldu dari bagian samping rumah. Saya pun menghampiri Ibu Dul yang sedang memasak dan menawarkan diri untuk membantu. Ibu Dul ini orangnya sangat pemalu.. selalu tersipu, namun minim berbicara. Dirinya hanya menggeleng lalu menyuruh saya duduk di dalam untuk menghangatkan diri.
Rumah sederhana, tapi kaya akan makna.
Suhu di Dieng saat itu berkisar 13 derajat Celcius (menurut iPhone teman saya). Buat saya yang tidak biasa dengan suhu dingin, udara Dieng malam itu lumayan menusuk tulang. Di dalam rumah, Pak Dul dan Mas Burhan sedang membuat bara di tungku untuk kami menghangatkan tubuh. Mereka lalu mengajak saya duduk melingkari tungku.
Tak lama berselang, Sofa, putri bungsu keluarga Dul serta Ibu Dul bergabung bersama kami. Mereka datang tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa panci berisi sup kentang dan wortel yang telah matang. Kami pun makan bersama mengelilingi tungku.
Banyak obrolan, banyak cerita.. membuat saya merasa hangat.
Menjadi rindu dengan suasana rumah.
"Mba, seadanya ya. Ini nasi nya agak keras Mba, jadi pakai kuah sup ya supaya ga terlalu keras. Supaya anget juga tubuhnya",
ujar Ibu.
"Rasa Kapal Api di sini beda loh sama di kota. Kalau di sini lebih nikmat, soalnya dingin-dingin sambil ngobrol. Jadi uenak pol!",
cerita Bapak dilanjutkan dengan tawa.
"Tuh, Fa.. Lucu ya Mba sama Mas-nya. Udah hidup enak di kota, eh malah ke kampung nyari mau tinggal sama kita",
celoteh Mas Burhan.
"Kalau di kota.. sinyal handphone bagus ya, Mba?",
tanya Sofa dengan polos.
sampai dengan..
"Bu, nanti aku aja yang cuci piring ya",
ucap saya dan rekan saya berebut tugas yang mungkin sebenarnya sering kita abaikan ketika hidup di kota.
- - -
Pak Dul. Petani Kentang di Desa Petak Banteng, Dieng - Wonosobo.
Sofa. Putri bungsu keluarga Dul yang bercita-cita menjadi perawat.
Di rumah itu, di makan malam itu
Momen yang menyadarkan saya
'Tuk hidup tulus
Bahwa berbagi tidak akan memiskinkan
Bahwa menyambut orang lain dengan kerendahan hati adalah sebuah kekayaan
'Tuk hidup sederhana
Bahwa uang dan harta tidak melulu menjadi sumber kebahagian
Bahwa memaknai kebersamaan keluarga adalah kunci kehangatan
Di sini lah.. yang tadinya hanya bertegur sapa menjadi sebuah keluarga.
Dan di sini lah.. yang tadinya hanya bertukar pikiran menjadi sebuah penyadaran.
- - -
"Hee.. Ibu sama Bapak udah nunggu anak-anaknya di rumah. Pasti Ibu udah masak buat kita. Kita makan di rumah aja ya. Tapi, seadanya loh".
Banyak obrolan, banyak cerita.. membuat saya merasa hangat.
Menjadi rindu dengan suasana rumah.
"Mba, seadanya ya. Ini nasi nya agak keras Mba, jadi pakai kuah sup ya supaya ga terlalu keras. Supaya anget juga tubuhnya",
ujar Ibu.
"Rasa Kapal Api di sini beda loh sama di kota. Kalau di sini lebih nikmat, soalnya dingin-dingin sambil ngobrol. Jadi uenak pol!",
cerita Bapak dilanjutkan dengan tawa.
"Tuh, Fa.. Lucu ya Mba sama Mas-nya. Udah hidup enak di kota, eh malah ke kampung nyari mau tinggal sama kita",
celoteh Mas Burhan.
"Kalau di kota.. sinyal handphone bagus ya, Mba?",
tanya Sofa dengan polos.
"Bu, nanti aku aja yang cuci piring ya",
ucap saya dan rekan saya berebut tugas yang mungkin sebenarnya sering kita abaikan ketika hidup di kota.
- - -
Pak Dul. Petani Kentang di Desa Petak Banteng, Dieng - Wonosobo.
Sofa. Putri bungsu keluarga Dul yang bercita-cita menjadi perawat.
Di rumah itu, di makan malam itu
Momen yang menyadarkan saya
'Tuk hidup tulus
'Tuk hidup sederhana
Bahwa uang dan harta tidak melulu menjadi sumber kebahagian
Bahwa memaknai kebersamaan keluarga adalah kunci kehangatan
'Tuk menghargai hidup;
menghargai sepiring nasi
menghargai usaha dan jeripayah
menghargai waktu bersama keluarga
menghargai segala hal dalam hidup.. yang selama ini selalu di rasa kurang
Yang selalu dianggap kurang,
nyatanya selalu dianggap lebih dari yang mereka harapkan
Yang selalu dikeluhkan,
nyatanya selalu yang mereka dambakan
Lalu ketika sudah tersadar, akankah kubiarkan berulang?
Bersyukurlah.. berulang
Agar 'ku terus tersadar
menghargai usaha dan jeripayah
nyatanya selalu dianggap lebih dari yang mereka harapkan
nyatanya selalu yang mereka dambakan
Bersyukurlah.. berulang
Agar 'ku terus tersadar
Terima kasih Bapak dan Ibu Dul, Mas Burhan, dan Sofa yang telah mengizinkan kami untuk bermalam dan menghabiskan waktu bersama. Terima kasih untuk segala cerita dan pembelajaran hidup yang telah kalian bagikan. Kalian.. luar biasa.
xx,
CHRIS
No comments
Post a Comment